.........text atas

Monday, June 13, 2011

Bolehkan Kita Menyentuh Kulit Lawan Jenis? : Hukum Menyentuh Kulit Non Mahram

Posted by yulia On 12:17 PM 4 comments

Pembahasan hukum berjabat tangan antara lawan jenis yang bukan mahram memerlukan kajian yang kritis dan mendalam sebelum menyimpulkan, karena terdapat cukup banyak dalil-dalil syara yang digunakan untuk membahas permasalahan ini. Akibatnya ...para ulama yang membahas masalah ini berbeda pendapat tentang hukumnya. Ada yang mengharamkannya dan ada pula yang mengatakan bahwa hukumnya mubah (boleh).

Dalil-dalil yang dikemukakan oleh pendapat yang mengharamkannya adalah sebagai berikut:

Pertama, beberapa riwayat dari ‘Aisyah r.a. yaitu:

Telah berkata ‘Aisyah: “Tidak pernah sekali-kali Rasulullah Saw menyentuh tangan seorang wanita yang tidak halal baginya.” [HR. Bukhari Muslim].

Telah berkata ‘Aisyah: “Tidak! Demi Allah, tidak pernah sekali-kali tangan Rasulullah Saw menyentuh tangan wanita (asing), hanya ia ambil bai’at mereka dengan perkataan.” [HR. Bukhari Muslim].

Menurut mereka Hadits-hadits di atas dan serupa dengannya merupakan dalil yang nyata bahwa Rasulullah Saw tidak berjabat tangan dengan wanita bukan mahram (asing). Karena itu maka hukum berjabat tangan antara lawan jenis yang bukan mahram adalah haram.

Kedua, hadits-hadits yang menunjukkan larangan ‘menyentuh wanita’ serta hadits-hadits lain yang maknanya serupa. Misalnya hadits shahih yang berbunyi:

“Ditikam seseorang dari kalian dikepalanya dengan jarum dari besi, itu lebih baik dari pada menyentuh seorang wanita yang tidak halal baginya.” [HR. Thabrani].

Atau hadits yang berbunyi:

“Lebih baik memegang bara api yang panas dari pada menyentuh wanita yang bukan mahram.”

Ketiga, juga di dasarkan pada sabda Rasulullah Saw yakni:

“Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita.” [HR. Malik, Tirmidzi dan Nasa’i].

Sedangkan pendapat yang membolehkan dasarnya adalah riwayat yang menunjukkan bahwa tangan Rasulullah Saw bersentuhan (memegang) tangan wanita.

Pertama, diriwayatkan dari Ummu ‘Athiyah r.a. yang berkata:

“Kami membai’at Rasulullah Saw, lalu Beliau membacakan kepadaku ‘Janganlah kalian menyekutukan Allah dengan sesuatu’, dan melarang kami melakukan ‘nihayah’ (histeris menangis mayat), karena itulah seorang wanita dari kami menggenggam (melepaskan) tangannya (dari berjabat tangan) lalu wanita itu berkata:
‘Seseorang (perempuan) telah membuatku bahagia dan aku ingin (terlebih dahulu) membalas jasanya’ dan ternyata Rasulullah Saw tidak berkata apa-apa. Lalu wanita itu pergi kemudian kembali lagi.” [HR. Bukhari].

Hadits ini menunjukkan bahwasanya kaum wanita telah berbai’at dengan berjabat tangan. Kata ‘qa ba dha’ dalam hadits ini memiliki arti menggenggam/melepaskan tangan. Seperti disebutkan di dalam kamus yang berarti menggenggam sesuatu, atau melepaskan (tanganya dari memegang sesuatu). (Lihat A.W. Munawwir, Kamus
Al-Munawwir, hal. 1167). Hadits ini jelas-jelas secara manthuq (tersurat) artinya ‘menarik kembali tangannya’ menunjukkan bahwa para wanita telah berbai’at dengan berjabat tangan, sebab tangan salah seorang wanita itu digenggamnya/dilepaskannya setelah ia mengulurkannya hendak berbai’at. Selain itu dari segi mafhum (tersirat) juga dipahami bahwa para wanita yang lain pada saat itu tidak menarik (menggenggam) tangannya, artinya tetap melakukan bai’at dengan tangan terhadap Rasulullah Saw. Jadi hadits ini menunjukkan secara jelas baik dari segi manthuq (tersurat) maupun mafhum (tersirat)– bahwa Rasulullah Saw telah berjabat tangan dengan wanita pada saat bai’at (Lihat Taqiyuddin An-Nabhani, idzham Ijtima’i Fil Islam, hal. 57 – 58, 71 – 72). Penjelasan ini juga sekaligus membantah yang mengatakan: “Yang dimaksud dengan genggaman tangan dalam hadits tersebut adalah ‘penerimaan yang terlambat’.” Seperti yang dikemukakan golongan yang mengharamkan jabat tangan. (Lihat Muhammad Ismail, Berjabat Tangan Dengan perempuan, hal. 34). Sebab kata ‘genggam tangan’ dalam hadits tersebut tidak memiliki arti selain ‘berjabat tangan’. Dan tidak bisa
dipahami/diterima dari segi bahasa kalau diartikan ‘penerimaan yang terlambat’. Kata ‘qa ba dha’ juga sering ditemukan dalam hadits-hadits lain yang artinya menggenggam dengan tangan, misalnya, diriwayatkan oleh Abu Bakar r.a. dari Ibnu Juraij yang menceritakan, Bahwa ‘Aisyah r.a. berkata: “Suatu ketika datanglah anak perempuan saudaraku seibu dari Ayah Abdullah bin Thufail dengan berhias. Ia
mengunjungiku, tapi tiba-tiba Rasulullah Saw masuk seraya membuang mukanya. Maka aku katakan kepada beliau ‘Wahai Rasul, ia adalah anak perempuan saudaraku dan masih perawan tanggung’.” Beliau kemudian bersabda:

“Apabila seorang wanita telah sampai usia baligh maka tidak boleh ia menampakkan anggota badanya kecuali wajahnya dan selain ini –digenggamnya pergelangan tangannya sendiri– dan dibiarkannya genggaman antara telapak tangan yang satu dengan genggaman terhadap telapak tangan yang lainnya.” [HR. Ath-Thabari dari
‘Aisyah r.a.].

Hadits yang diriwayatkan oleh Ummu ‘Athiyah r.a. ini yang dijadikan dalil oleh sebagian ulama yang membolehkan berjabat tangan dengan bukan mahram. Namun demikian kebolehan tersebut dengan syarat tidak disertai syahwat. Kalau ada syahwat maka hukumnya haram.

Kedua, diriwayatkan dari ‘Aisyah r.a. yang berkata:

“Seorang wanita mengisyaratkan sebuah buku dari belakang tabir dengan tangannya kepada Nabi Saw. Beliau lalu memegang tangan itu seraya berkata, ‘Aku tidak tahu ini tangan seorang laki-laki atau tangan seorang wanita.’ Dari belakang tabir wanita itu menjawab. ‘Ini tangan seorang wanita’. Nabi bersabda, ‘Kalau engkau seorang wanita, mestinya kau robah warna kukumu (dengan pacar).” [HR. Abu Daud].

Sikap Kita Dalam Menghadapi Perbedaan Tersebut

Dalam menghadpi perbedaan tersebut dan pendapat mana yang harus kita ikuti untuk kita amalkan, maka kita harus mengkaji terlebih dahulu pendapat manakah yang lebih kuat dalam hal ini. Untuk itu kita perlu mengkaji manakah dalil yang lebih kuat dari nash-nash yang seolah-olah bertentangan yang digunakan oleh kedua pendapat di atas. Kalau kita perhatikan hadit-hadits yang digunakan oleh kedua
pendapat adalah hadits-hadits shahih yang harus diterima kebenarannya. Dalam mensikapi hadits-hadits yang dzahirnya seola-olah bertentangan, menurut ilmu hadits dan ushul fiqh harus ditempuh langkah-langkah sebagai berikut:

1. Thariqatul jam’i, yakni menggabungkan dan mengkompromikan dalil-dalil yang ada. Apabila langkah ini tidak bisa dilakukan baru menempuh
2. Nasikh dan Mansukh, apabila tidak bisa dilakukan, ditempuh
3. Tarjih, yakni dengan cara meneliti dan membandingkan mana dalil yang lebih kuat. Dalam hal ini harus dilakukan secara cermat dan teliti serta harus memperhatikan kaidah-kaidah tarjih yang telah digariskan oleh para ulama. Kalau langkah ini sulit dilakukan karena sama-sama kuat atau masih kabur baru menempuh langkah terakhir
4. Tawaqquf, yaitu menghentikan kajian dalam menggali hukumnya. Namun terus berusaha sampai Allah SWT membukakan persoalan tersebut untuk diketahui. (Lihat Dr. Mahmud Thahan, Taisir Musthalah Hadits, hal. 58).

Pendapat Yang Rajih (Kuat)

Pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat yang mengatakan bahwa hukumnya mubah.
Penjelasannya adalah sebagai berikut:

1. Hadits yang sering digunakan oleh golongan yang berpendapat haramnya berjabat tangan dengan bukan mahram adalah hadits-hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah r.a. Sedangkan golongan yang mengatakan mubah adalah berdasarkan riwayat Ummu ‘Athiyah r.a. Untuk mentarjihnya kita perlu memperhatikan kaidah tarjih dalam
ilmu hadits yang telah dijelaskan para ulama bahwa:

“Rawi yang mengetahui secara langsung kedudukannya lebih kuat dari pada Rawi yang mengetahui tidak secara langsung.”

Dari hadits-hadits diatas, maka hadits yang diriwayatkan oleh Ummu ‘Athiyah r.a. lebih kuat, sebab beliau melihat dan mengetahui secara langsung perbuatan Rasulullah Saw yang berjabat tangan dengan wanita bukan mahram pada saat berbai’at. Bahkan Ummu ‘Athiyah r.a. sendiri berjabat tangan dengan Rasulullah Saw seperti apa yang tersirat dari hadits yang diriwayatkannya. Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah r.a. isinya merupakan pendapat beliau yang
menggambarkan bobot keilmuan beliau. Bahwa selama beliau (‘Aisyah r.a.) bergaul dengan Rasulullah Saw, beliau tidak pernah melihat Rasulullah Saw berjabat tangan dengan wanita bukan mahram. Jadi secara tidak langsung ‘Aisyah r.a. menceritakan bahwa Rasulullah Saw tidak pernah berjabat tangan dengan wanita
bukan mahram.

2. Memang benar ‘Aisyah r.a. tidak pernah melihat Rasulullah Saw berjabat tangan wanita bukan mahram. Tetapi tidak bisa langsung disimpulkan bahwa Rasulullah Saw mengharamkan berjabat tangan dengan bukan mahram. Sebab apa yang dikatakan ‘Aisyah hanya menjelaskan tentang ketiadaan perbuatan Rasul –dalam hal ini
berjabat tangan– yang diketahui ‘Aisyah, dan tidak menunjukkan larangan berjabat tangan dengan bukan mahram. Perlu diketahui bahwa kehidupan Rasulullah sehari-hari tidak selamanya didampingi ‘Aisyah r.a., bahkan kehidupan Rasulullah Saw bersama ‘Aisyah r.a. lebih sedikit dibandingkan dengan kehidupan Rasulullah Saw di luar rumah (berdakwah tanpa disertai ‘Aisyah r.a.). Sehingga kalau
‘Aisyah r.a. tidak pernah melihat Rasulullah Saw berjabat tangan dengan wanita bukan mahram, tidak bisa langsung disimpulkan haram berjabat tangan dengan bukan mahram. Sebab pada keadaan lain ada yang melihat dan mengetahui (Ummu ‘Athiyah r.a.) Rasulullah Saw berjabat tangan dengan wanita bukan mahram. Oleh krena itu hadits riwayat Ummu ‘Athiyah r.a. lebih rajih (kuat) untuk dijadikan dalil dan dapat diambil serta menentukan bolehnya berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan mahram.

3. Hadits-hadits yang menunjukkan larangan ‘menyentuh wanita’ serta
hadits-hadits lain yang maknanya serupa. Misalnya hadits shahih yang berbunyi:

“Ditikam seseorang dari kalian dikepalanya dengan jarum dari besi, itu lebih baik dari pada menyentuh seorang wanita yang tidak halal baginya.” [HR. Thabrani].

Atau hadits yang berbunyi:

“Lebih baik memegang bara api yang panas dari pada menyentuh wanita yang bukan mahram.”

Menurut golongan yang membolehkan berjabat tangan, menjelaskan bahwa kata ‘massa’ yang artinya ‘menyentuh’ dalam hadits tersebut adalah lafadz musytarak (memiliki makna ganda) yakni bisa berarti ‘menyentuh dengan tangan’ atau ‘bersetubuh’. Selain itu pengertian ‘menyentuh’ juga sering digunakan kata ‘lamasa’ yang juga memiliki makna ganda, yakni bisa berarti ‘menyentuh dengan tangan’ atau ‘bersetubuh’. Ayat-ayat al-Qur’an dan as-Sunnah dalam menjelaskan
menyentuh dengan tangan sering menggunakan kata ‘lamasa’. Hal ini bisa dilihat dalam firman Allah SWT:

“... atau kamu telah menyentuh wanita...” (Qs. an-Nisaa’ [4]: 43).

Juga firman Allah SWT:

“... atau kamu telah menyentuh wanita...” (Qs. al-Maa’idah [5]: 6).

“Dan kalau kami turunkan kepadamu tulisan di atas kertas, lalu mereka dapat menyentuhnya dengan tangan mereka sendiri...” (Qs. al-An’aam [6]: 7).

Arti kata ‘lamasa’ menurut bahasa Arab sendiri adalah ‘menyentuh dengan tangan’. Di dalam kamus Al Muhith, juz II, hal. 249, arti ‘lamasa’ adalah ‘al jassu bil yadi’ (menyentuh dengan tangan).

Dalam kedua ayat pertama, kalimatnya berbentuk umum untuk seluruh kaum wanita, yaitu bersentuhan dengan wanita membatalkan wudhu dan hal ini menunjukkan bahwa hukumnya terbatas pada batalnya wudhu karena menyentuh wanita. (Lihat Taqiyuddin
An-Nabhani, Nidzham Ijtima’i Fil Islam, hal. 58). Sedangkan dalam ayat ketiga memperjelas bahwa yang dimaksud menyentuh adalah memegang dengan tangan.

Didalam hadits-hadits pun terdapat kata ‘lamasa’ yang artinya menyentuh dengan
tangan. Diriwayatkan:

Telah berkata Ibnu ‘Abbas: “Tatkala Ma’iz bin Malik datang kepada Nabi Saw (mengaku berzina), bersabdalah Rasulullah Saw: ‘Barangkali engkau hanya mencium atau menyentuh atau melihat saja?’ Jawab dia, ‘Tidak! Ya Rasulullah.’ Berkata (Ibnu ‘Abbas), ‘Maka sesudah itu beliau memerintahkan agar dia itu dirajam’.”
[HSR. Al-Ismailiy]. (Lihat A. Hassan, Soal-Jawab, hal. 53 – 55).

Juga diriwayatkan:

“Dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya Rasulullah Saw melarang jual-beli dengan cara ‘mulamasah’ dan ‘munabadzah’.” [HR. Bukhari Muslim ].

Jual beli secara ‘mulamasah’ yaitu: Jika seorang pembeli berkata, apabila engkau menyentuh kainku dan aku menyentuh kainmu, maka terjadilah jual-beli. (Lihat kitab hadits Lu’lu wal Marjan, juz II, hal. 150).

4. Kata ‘massa’ merupakan lafadz musytarak, sehingga dalam sebuah ayat dan beberapa riwayat berarti “menyentuh dengan tangan”. Yakni di dalam firman Allah SWT:

“Tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan.” (Qs. al-Waaqi’ah [56]: 78).

Juga dalam riwayat:

“Dan dari Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm dari ayahnya, dari datuknya, bahwa Nabi Saw pernah mengirim surat kepada penduduk Yaman, yang (di dalamnya):
‘Tidak boleh menyentuh Qur’an melainkan orang yang suci’.” [HR. Al-Atsram dan Daraquthni]. Hadits yang serupa juga diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al-Muwaththa.

Tetapi, hadits-hadits yang diggunakan sebagai dalil oleh golongan yang
mengharamkan ‘menyentuh wanita’ menggunakan kata ‘massa’ yang lebih tepat diartikan ‘bersetubuh’ bukan ‘menyentuh dengan tangan’. Kata-kata ‘massa’ dengan arti ‘bersetubuh’ lebih banyak ditemukan dalam ayat-ayat al-Qur’an. Misalnya firman Allah SWT:

“Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan
isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka...” (Qs. al-Baqarah [2]: 236).

“Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu sentuh (setubuh) mereka, padahal...” (Qs. al-Baqarah [2]: 237).

Juga firman-Nya:

“Maryam berkata: ‘Bagaimana aku bisa mempunyai anak laki-laki sedangkan tidak pernah seorang manusiapun yang menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang pezina’.” (Qs. Maryam [19]: 20).

“...kemudian kamu ceraikan mereka sebelum sentuh (setubuh) mereka...” (Qs.
al-Ahzab [33]: 49).

Dan masih banyak ayat lain yang menggunakan kata ‘massa’ untuk makna ‘bersetubuh’ bukan arti menyentuh secara bahasa.

Juga di dalam beberapa hadits menunjukkan bahwa kata ‘massa’ memiliki arti ‘bersetubuh’. Rasulullah Saw bersabda:

“Apabila kemaluan menyentuh kemaluan (bersetubuh), maka wajiblah mandi.” [HR. Muslim].

5. Walaupun kata ‘massa’ dapat diartikan dengan ‘menyentuh dengan tangan’ tetapi dalam hadits-hadits yang digunakan oleh golongan yang mengharamkan jabat tangan dengan wanita bukan mahram, ini lebih tepat jika diartikan dengan ‘bersetubuh’. Sebab jika di artikan dengan ‘menyentuh dengan tangan’ maka pengertian ini bertentangan dengan hadits shahih yang diriwayatkan Ummu ‘Athiyah r.a. dimana tangan Rasulullah Saw yang mulia telah menyentuh (berjabat tangan) dengan wanita yang bukan mahram. Juga riwayat lain yang menjelaskan dimana Rasulullah Saw pernah memegang tangan wanita seperti diriwayatkan dari ‘Aisyah r.a. yang berkata:

“Seorang wanita mengisyaratkan sebuah buku dari belakang tabir dengan tangannya kepada Nabi Saw. Beliau lalu memegang tangan itu seraya berkata, ‘Aku tidak tahu ini tangan seorang laki-laki atau tangan seorang wanita.’ Dari belakang tabir wanita itu menjawab. ‘Ini tangan seorang wanita’. Nabi bersabda, ‘Kalau engkau seorang wanita, mestinya kau robah warna kukumu (dengan pacar).” [HR. Abu Daud].

Selain itu Rasulullah Saw pernah berjabat tangan di dalam air, dalam benjana pada saat membai’at wanita, pernah juga Rasulullah Saw berjabat tangan dengan alas kain. Juga diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw pernah menyuruh Umar bin Khaththab r.a untuk mewakili beliau dalam bai’at dan bai’at ini dilakukan dengan
berjabat tangan. Kalau memang berjabat tangan (menyentuh) dengan wanita diharamkan, tentunya Rasulullah Saw tidak akan melaksanakannya baik secara langsung maupun dengan perantara apapun. Juga tidak mungkin Rasulullah Saw memerintahkan Umar bin Khaththab r.a. melakukan jabat tangan (menyentuh) dengan
wanita yang bukan mahram, sebab hal tersebut adalah perbuatan yang haram. Akan tetapi ternyata yang terjadi justru sebaliknya.

Juga kalau memang berjabat tangan (bersentuhan) anatar lawan jenis yang bukan mahram itu diharamkan, tentunya Daulah Khilafah (negara Khilafah) tidak akan membiarkan kondisi-kondisi atau keadaan yang sangat memungkinkan terjadi persentuhan. Bahkan Daulah akan memberikan sanksi/hukuman bagi yang melakukannya. Ternyata tidak ada satu riwayatpun yang menyatakan bahwa Daulah pernah melakukannya. Dan bahkan Daulah tidak pernah memisahkan antara jama’ah haji pria dan wanita, juga antara pria dan wanita di pasar walaupun kondisi tersebut akan menyebabkan terjadinya bersentuhannya pria dan wanita yang bukan mahram.

Jadi dapat kita simpulkan bahwa dimaksud dengan kata ‘menyentuh’ pada hadits-hadits yang digunakan oleh pendapat yang engharamkan berjabat tangan dengan wanita bukan mahram adalah ‘bersetubuh’ bukan menyentuh secara bahasa (berjabat tangan).

6. Pendapat yang mengharamkan berjabat tangan antara pria dan wanita bukan mahram juga di dasarkan pada sabda Rasulullah Saw:

“Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita.” [HR. Malik, Tirmidzi dan Nasa’i].

Hadits di atas serta hadits-hadits lain yang serupa sering dijadikan dalil untuk mengharamkan berjabat tangan dengan bukan mahram.

Pendapat ini adalah lemah, sebab perkataan Rasulullah Saw, “Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita.” tidak menunjukkan larangan berjabat tangan, tetapi hanyalah mencegah dari perbuatan mubah. Hukum mubah ini di dasarkan pada hadits shahih yang diriwayatkan Ummu ‘Athiyah. Karena hukumnya
mubah, maka terserah saja bagi Rasulullah Saw dan bagi kaum muslimin lainnya apakah berjabat tangan (Lihat riwayat Ummu ‘Athiyah dan Ath-Thabrai dari ‘Aisyah r.a.) atau meninggalkan berjabat tangan (seperti hadits riwayat Malik, Tirmidzi dan Nasa’i).

Khatimah

Dari tarjih kedua pendapat diatas menunjukkan bahwa pendapat yang mengharamkan berjabat tangan dengan bukan mahram adalah lemah jika dibandingkan dengan pendapat yang membolehkannya. Karena hukumnya mubah maka dibolehkan bagi kaum muslimin untuk berjabat tangan dengan bukan mahram baik secara langsung ataupun dengan pembatas, juga dibolehkan untuk tidak berjabat tangan.

Pendapat yang membolehkan berjabat tangan dengan bukan mahram mensyaratkan harus tanpa syahwat. Kalau ada syahwat maka hukumnya haram. Karena itu para ulama yang membolehkan berjabat tangan dengan bukan mahram mengingatkan karena antara syahwat dan tidak itu sangat samar, maka haruslah kita berhati-hati pada saat
berjabat tangan. Terutama sekali kalau yang berjabat tangan adalah pria dan wanita muda yang sebaya, sebab sangat mungkin menimbulkan syahwat atau menimbulkan fitnah. Kalau tidak khawatir timbul fitnah maka tidak apa-apa berjabat tangan dengan bukan mahram. Misalnya dengan orang-orang yang sudah tua atau dengan anak-anak kecil.

Golongan yang membolehkan berjabat tangan dengan bukan mahram, bukanlah karena mereka senang berjabat tangan dengan bukan mahram. Tetapi karena mereka tidak berani untuk mengharamkan sesuatu yang secara jelas Allah SWT telah membolehkannya lewat perbuatan RasulNya. Sebab termasuk dosa besar kalau ada orang yang berani mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah SWT atau menghalalkan sesuatu yang diharamkan oleh Allah SWT. Sebab Rasulullah Saw bersabda:

“Sesungguhnya orang yang mengharamkan sesuatu yang halal sama dengan orang yang menghalalkan sesuatu yang haram.” [HR. As-Sihab].

Perlu diingat bahwa sesuatu yang mubah tidak harus selalu dilakukan. Sebab kalau itu tidak berguna dan dapat menimbulkan fitnah lebih baik dihindarkan.

Bagi mereka yang mengikuti pendapat yang mengharamkan setelah sampai penjelasan yang meyakinkan, maka haramlah hukumnya bagi mereka untuk berjabat tangan dan atau menyentuh dengan tangannya siapapun yang bukan mahramnya, baik bukan
mahramnya tersebut anak kecil, remaja, dewasa ataupun orang yang sudah tua sekalipun. Sebab mereka semua adalah bukan mahram, yang haram untuk berjabat tangan dan bersentuhan dengannya. Sedangkan bagi mereka yang mengikuti pendapat yang membolehkan setelah sampai penjelasan yang meyakinkan, maka mubahlah
hukumnya bagi mereka. Allah SWT akan meminta pertanggung-jawaban atas perbuatannya berdasarkan pendapat yang terkuat yang telah ia ikuti. Walaupun berbeda pendapat kaum muslimin tetap bersaudara. Tidak boleh hanya karena perbedaan pendapat yang masih dibolehkan tersebut, sesama muslim saling menfitnah dan menjelek-jelekan orang yang berbeda dengan mereka. Wallahu a’lam.

4 comments:

Sama aja km menghalal suami mu bergandengan tangan dgn yg bukan mahram..

@sanny Rie: bagaimana kaau yang disentuh suamimu itu guru perempuan suamimu yang sudah sepuh?

itu sih kita simpulkan saja masing-masing pendpat diatas n kita ga boleh punya kesimpulan tanpa dalil-dalil yang soheh

Post a Comment

just shAre YouR Mind about my blog